jason mraz

Rabu, 17 Desember 2014

Ronggo Warsito



Siapa yang tak tahu pada Ronggo Warsito?


Berikut penulis akan memaparkan sedikit tentang Ronggo Warsito

Raden Ngabehi Rangga Warsita (alternatif: Ronggowarsito; lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 15 Maret 1802 – meninggal di Surakarta, Jawa Tengah, 24 Desember 1873 pada umur 71 tahun) adalah pujangga besar budaya Jawa yang hidup di Kasunanan Surakarta. Ia dianggap sebagai pujangga besar terakhir tanah Jawa. Nama sebanarnya ialah Bagus Burhan, Ia adalah putra dari Mas Pajangswara (juga disebut Mas Ngabehi Ranggawarsita. Ayahnya adalah cucu dari Yasadipura II, pujangga utama Kasunanan Surakarta. Ayah Bagus Burhan merupakan keturunan Kesultanan Pajang sedangkan ibunya adalah keturunan dari Kesultanan Demak. Bagus Burhan diasuh oleh Ki Tanujaya, abdi dari ayahnya.
Ketika masih muda, Ronggowarsito dikenal sebagai anak yang nakal, ia gemar berjudi sehingga kakeknya menitipkannya untuk belajar agama Islam bersama Kyai Imam Besari pemimpin Pesantren Gebang Tinatar di desa Tegalsari (Ponorogo). Ranggawarsito memang anak yang sulit diatur, pada awalnya ia masih saja nakal sampai ia kabur ke Madiun. Setelah kembali ke Ponorogo, konon, ia mendapat "pencerahan" di Sungai Kedungwatu, sehingga berubah menjadi pemuda alim yang pandai mengaji.
Pada masa pemerintahan Pakubuwana V (18201823), karier Burhan tersendat-sendat karena raja baru ini kurang suka dengan Panembahan Buminoto yang selalu mendesaknya agar pangkat Burham dinaikkan. Pada tanggal 9 November 1821 Burhan menikah dengan Raden Ayu Gombak dan ikut mertuanya, yaitu Adipati Cakradiningrat di Kediri. Di sana ia merasa jenuh dan memutuskan berkelana ditemani Ki Tanujoyo. Konon, Burhan berkelana sampai ke Pulau Bali untuk mempelajari naskah-naskah sastra Hindu koleksi Ki Ajar Sidalaku.
Tak lengkap jika kita tak membicarakan tentang puncak kejayaan kariernya. Bagus Burhan diangkat sebagai Panewu Carik Kadipaten Anom bergelar Raden Ngabei Ronggowarsito, menggantikan ayahnya yang meninggal di penjara Belanda tahun 1830. Lalu setelah kematian Yasadipura II, Ranggawarsita diangkat sebagai pujangga Kasunanan Surakarta oleh Pakubuwana VII pada tanggal 14 September 1845. Pada masa inilah Ranggawarsita melahirkan banyak karya sastra. Hubungannya dengan Pakubuwana VII juga sangat harmonis. Ia juga dikenal sebagai peramal ulung dengan berbagai macam ilmu kesaktian. Naskah-naskah babad cenderung bersifat simbolis dalam menggambarkan keistimewaan Ranggawarsita. Misalnya, ia dikisahkan mengerti bahasa binatang. Ini merupakan simbol bahwa, Ranggawarsita peka terhadap keluh kesah rakyat kecil.
Hubungan Ranggawarsita dengan Belanda juga kurang baik. Meskipun ia memiliki sahabat dan murid seorang Indo bernama C.F. Winter, Sr., tetap saja gerak-geriknya diawasi Belanda. Ranggawarsita dianggap sebagai jurnalis berbahaya yang tulisan-tulisannya dapat membangkitkan semangat juang kaum pribumi. Karena suasana kerja yang semakin tegang, akibatnya Ranggawarsita pun keluar dari jabatan redaksi surat kabar Bramartani tahun 1870.
Ranggawarsita meninggal dunia secara misterius tanggal 24 Desember 1873. Anehnya, tanggal kematian tersebut justru terdapat dalam karya terakhirnya, yaitu Serat Sabdajati yang ia tulis sendiri. Hal ini menimbulkan dugaan kalau Ranggawarsita meninggal karena dihukum mati, sehingga ia bisa mengetahui dengan persis kapan hari kematiannya. Penulis yang berpendapat demikian adalah Suripan Sadi Hutomo (1979) dan Andjar Any (1979). Pendapat tersebut mendapat bantahan dari pihak elit keraton Kasunanan Surakarta yang berpendapat kalau Ranggawarsita adalah peramal ulung sehingga tidak aneh kalau ia dapat meramal hari kematiannya sendiri. Ranggawarsita dimakamkan di Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten. Makamnya pernah dikunjungi dua presiden Indonesia, yaitu Soekarno dan Gus Dur pada masa mereka menjabat.
Ungkapan Ranggawarsito dalam  Istilah Zaman Edan
Istilah Zaman Edan konon pertama kali diperkenalkan oleh Ranggawarsita dalam Serat Kalatida, yang terdiri atas 12 bait tembang Sinom. Salah satu bait yang paling terkenal adalah:
amenangi zaman édan,
éwuhaya ing pambudi,
mélu ngédan nora tahan,
yén tan mélu anglakoni,
boya keduman mélik,
kaliren wekasanipun,
ndilalah kersa Allah,
begja-begjaning kang lali,
luwih begja kang éling klawan waspada.
yang terjemahannya sebagai berikut:
menyaksikan zaman gila,
serba susah dalam bertindak,
ikut gila tidak akan tahan,
tapi kalau tidak mengikuti (gila),
tidak akan mendapat bagian,
kelaparan pada akhirnya,
namun telah menjadi kehendak Allah,
sebahagia-bahagianya orang yang lalai,
akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.
Syair di atas menurut analisis seorang penulis bernama Ki Sumidi Adisasmito adalah ungkapan kekesalan hati pada masa pemerintahan Pakubuwono IX yang dikelilingi para penjilat yang gemar mencari keuntungan pribadi. Syair tersebut masih relevan hingga zaman modern ini di mana banyak dijumpai para pejabat yang suka mencari keutungan pribadi tanpa memedulikan kerugian pihak lain.

Referensi:
http://id.wikipedia.org/wiki/Rangga_Warsita







Tidak ada komentar:

Posting Komentar