Kearifan Lokal
Kearifan
lokal adalah suatu bentuk kearifan lingkungan yang ada dalam kehidupan
bermasyarakat di suatu tempat atau daerah. Jadi merujuk pada lokalitas dan
komunitas tertentu. Menurut Putu Oka Ngakan dalam Andi M. Akhmar dan Syarifundin
(2007) kearifan lokal merupakan tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal
dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup secara arif.
Sementara
itu Keraf (2002) menegaskan bahwa kearifan lokal adalah semua bentuk
pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika
yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Semua
bentuk kearifan lokal ini dihayati, dipraktekan, diajarkan dan diwariskan dari
generasi ke generasi sekaligus membentuk pola perilaku manusia terhadap sesame manusia,
alam maupun gaib.
Tentang Baduy
Orang
Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah
Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang
diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari
sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok
Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden).
Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di
bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri
sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah
mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang
Cibeo (Garna, 1993).
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek
a–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan
Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari
sekolah. Orang Kanekes 'dalam' tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat
istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam
tuturan lisan saja.
Menurut
kepercayaan yang mereka anut (sunda wiwitan), orang Kanekes mengaku keturunan
dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi.
Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek
moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk
warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga
harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal-usul orang
Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya
dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan
perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar
Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan
Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan
Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten,
wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan
Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat
dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil
bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang
disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu
dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang
sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit
di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang
khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai
sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut
(Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa
pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang
mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan
musuh-musuh Pajajaran.
Ada
versi lain dari sejarah suku baduy, dimulai ketika Kian Santang putra prabu
siliwangi pulang dari arabia setelah berislam di tangan sayyidina Ali. Sang
putra ingin mengislamkan sang prabu beserta para pengikutnya. Di akhir cerita,
dengan 'wangsit siliwangi' yang diterima sang prabu, mereka berkeberatan masuk
islam, dan menyebar ke penjuru sunda untuk tetap dalam keyakinannya. Dan Prabu
Siliwangi dikejar hingga ke daerah lebak (baduy sekarang), dan bersembunyi
hingga ditinggalkan. Lalu sang prabu di daerah baduy tersebut berganti nama
dengan gelar baru Prabu Kencana Wungu, yang mungkin gelar tersebut sudah
berganti lagi. Dan di baduy dalamlah prabu siliwangi bertahta dengan 40
pengikut setianya, hingga nanti akan terjadi perang saudara antara mereka
dengan kita yang diwakili oleh ki saih seorang yang berupa manusia tetapi sekujur
tubuh dan wajahnya tertutupi oleh bulu-bulu laiknya monyet.dan ki saih ini
kehadirannya di kita adalah atas permintaan para wali kepada Allah agar
memenangkan kebenaran.
Kepercayaan
masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan
kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga
dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut
ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam
kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993).
Tentangku Berada di Baduy
(kearifan lokal suku Baduy)
Masih
ingat sekali saat aku duduk di bangku SMA kelas XI setelah melaksanakan UAS, sekolah
merencanakan petualangan ke Baduy untuk seluruh kelas XI. Kegiatan tersebut
dilaksanakan pada bulan Desember 2011. Kami harus berangkat dari sekolah kami
yang berada di ibu kota kabupaten Lebak. Perjalanan ke Baduy amat berliku, kami
hanya dapat menggunakan kendaraan sampai di Ciboleger. Untuk sampai ke Baduy,
kami harus berjalan kaki yang lumayan jauh dan melelahkan. Namun tak sia-sia,
alam yang begitu asri, sungai yang bersih, udara sejuk dan satwa yang masih
banyak.
Di
perjalanan tak jarang kami melihat anak suku Baduy yang masih kecil sekali
namun sudah mampu memanggul beban yang berat, mereka jalan jauh untuk membawa
beberapa buah durian yang dipanggulnya menggunakan dua keranjang dengan sebih bambu
yang menjadi penopangnya untuk memanggul. Kami yang tak pernah merasakan
sejuknya alam di Baduy, segarnya air sungai dari pegunungan amat senang karena
terbayar sudah perjalan yang melelahkan ini.
Kami
sampai di penginapan yaitu rumah-rumah orang suku Baduy yang telah di sewa
untuk kami tidur semalam. Ada keunikan disini, rumah suku Baduy begitu rapi
berjejer, saling berhadap-hadapan dengan rumah lainnya. Rumah panggung yang
begitu unik juga membawa kenyamanan yang tentunya berbeda dengan perkotaan.
Suku
Baduy sangat menjaga alam sekitar mereka, kami tidak boleh membuang sampah
sembarangan, membuang limbah di sungai, bahkan untuk peralatan mandi yang
biasanya kita pakai seperti sabun mandi, pasta gigi dan shampo mereka tiddak
menggunakannya dengan alasan akan mencemari sungai. Tak heran jika air sungai
disini begitu bersih dan jernih.
Mereka
hidup begitu sederhana, walaupun yang kami singgahi adalah Baduy Luar. Memang,
disini sudah ada orang yang paham akan dunia luar Baduy, mereka sudah sering ke
perkotaan. Jika Baduy Luar saja sudah seperti ini, apalagi kalau Baduy dalam tidak
terbayangkan. Keesokan harinya kami harus memulai petualangan, kami berjalan
begitu jauh dari gunung ke gunung hingga persediaan minum habis hingga kami
menemukan sungai kecil dan kami meminumnya, sungguh rasanya segar. Sebenarnya banyak
sekali yang dapat diceritakan, banyak sekali pelajaran yang adapat kita ambil
adari suku Baduy ini. Kearifan lokalnya terhadap alam begitu kuat.
Ada hal yang menarik dari masyarakat
Baduy yaitu kearifan lokal mereka mengenai pandangan terhadap alam semesta.
Masyarakat Baduy sangat menjaga keseimbangan dan keselarasan dengan alam. Maka
dari itu, masyarakat Baduy (dalam) sangat menjaga ajaran tentang menjaga alam
serta melestarikan. Hal tersebut yang menciptakan masyarakat Baduy hidup
berdampingan dengan alam secara harmonis. Selain itu. masyarakat Baduy tidak
mengeksploitasi alam, mereka menggunakan seperlunya yang ada di alam dan
disertai dengan pelestarian.
Fakta Suku Baduy
Masyarakat
Baduy memiliki kepercayaan bahwa alam adalah salah satu titipan maha kuasa yang
harus dijaga dan dilestarikan. Hal itu sesuai dengan prinsip ajaran dan
filosofis masyarakat Baduy yaitu “lojor teu meunang dipotong, pondok teu
meunang disambung”. Ada pula prinsip hidup lain masyarakat Baduy yang selaras
dengan alam adalah petatah-petitih masyarakat ada Baduy yaitu:
Gunung tak diperkenankan
dilebur
Lembah tak
diperkenankan dirusak
Larangan tak boleh di rubah
Panjang tak boleh dipotong
Pendek tak boleh disambung
Yang bukan harus ditolak
Yang jangan harus dilarang
Yang benar haruslah
dibenarkan
Nilai yang terkandung dalam
aturan tersebut adalah konsep mengenai “tanpa perubahan apapun”.
Banyak bukti
yang memperlihatkan bahwa masyarakat Baduy hidup berdampingan dengan alam
secara harmonis yaitu masyarakat Baduy sangat menjaga air agar selalu jernih
dan bersih sehingga bisa dipakai untuk kehidupan sehari-hari. Saat mandi atau
bersih-bersih, tidak boleh ada bahan kimia yang dipakai oleh masyarakat
Baduy termasuk pengunjung. Hal itu untuk menjaga air agar tetap bersih dan
jernih. Aliran sungai yang melintasi perkampungan tanah adat suku Baduy amat
jernih, tidak ada sampah. Hal lain yang penting adalah masyarakat Baduy
memiliki kelembagaan sosial yang memberikan pedoman berperilaku bagi masyarakat
lokal maupun pendatang untuk mematuhi nilai-nilai adat. Masyarakat Baduy yang
tidak memiliki kamar mandi maupun WC dirumah panggungnya, memiliki aturan untuk
tidak membuang sampah, menggunakan sabun, deterjen dan bahan-bahan kimia lain
yang dapat mengotori sungai. Selain itu, pembagian area-area dalam pemanfaatan
sungai juga merupakan sebuah konsep dalam memperhatikan daya pulih air. Setiap
kampung telah memiliki area-area khusus dalam pemanfaatan sungai. Area sungai
untuk mandi, mencuci, buang air dan konsumsi memiliki areanya masing-masing
sehingga masyarakat memperoleh air yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan.
Praktik masyarakat Baduy yang menyesuaikan diri dengan alam juga terlihat dari
cara membangun rumah. Bagian paling bawah dari rumah adalah batu sebagai
penopang tiang-tiang utama rumah yang terbuat dari kayu. Tetapi, tidak seperti
rumah pada umumnya, masyarakat Baduy tidak menggali tanah untuk pondasi. Batu
hanya diletakan di atas tanah. Jika kontur tanah tidak rata, maka bukan tanah
yang menyesuaikan sehingga diratakan, tetapi batu dan tiang kayu yang
menyesuaikan. Jadi, panjang pendeknya batu mengikuti kontur tanah. Selain itu
bahan bangunan rumah yang lain adalah bahan bangunan yang ramah terhadap alam.
Bahan bangunan rumah masyarakat Baduy merupakan bahan yang bisa dan mudah
diurai oleh tanah. Bahan tersebut diantaranya dinding bilik bambu, atap dari
ijuk dan daun pohon kelapa dan rangka rumah dari kayu alam yaitu kayu jati,
kayu pohon kelapa dan kayu albasiah. Pada saat malam hari masyarakat Baduy
tidak menggunakan listrik dan alat teknologi yang lain sebagai penerangan. Untuk
aktivitas bepergian masyarakat Baduy lebih memilih berjalan kaki sesuai yang
diajarkan.
Masyarakat Baduy menyimpan hasil
panen padi huma di sebuah leuit, lumbung padi. Leuit dibangun
di pinggiran tiap kampung. Setiap keluarga memiliki leuit. Leuit adalah
wujud pemahaman masyarakat Baduy tentang ketahanan pangan. Kondisi adanya leuit
membuat masyarakat Baduy tidak kekurangan bahan pangan. Selain itu, apabila
masyarakat Baduy akan menggunakan kayu maka kayu yang akan dipakai adalah kayu
kayu yang telah kering dan tua. kayu bakar tersebut diperoleh dari pohon yang
sudah dimakan rayap atau batang pohon dan ranting yang jatuh terserak.
Masyarakat Baduy tidak menebang pohon untuk kayu bakar. Kearifan lokal ini
menjadikan Baduy dan hutan di sekitarnya hidup harmonis selama ratusan tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar