jason mraz

Rabu, 19 November 2014

REVISI 1-PGSD/3C-02



 REVISI 1-PGSD/3C-02

PERAN PENDIDIK DALAM KAJIAN EKSISTENSIALISME

            Eksistensialisme berasal dari kata exist (bahasa latin) ex yang berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar diri sendiri. Artinya, dengan keluar dari diri sendiri, manusia sadar tentang dirinya sendiri; ia berdiri sebagai aku atau pribadi. Pemikiran semacam ini dalam bahasa Jerman disebut Dasein (Da artinya disana, Sein artinya berada).
Konsep eksistensialisme dikembangkan oleh ahli filsafat asal Jerman, Martin Heidegger (1889-1976), merupakan bagian filsafat dan akar metodologinya berasal dari metodologi fenomenologi yang dikembangkan oleh hussel (1859 – 1938). Kemunculan eksistensialisme berawal dari ahli filsafat Soren Kierkegaard dan Nietzche. Soren Kierkegaard ingin menjawab pertanyaan “bagaimanakah aku menjadi seorang diri ?”, dasar pertanyaan tersebut mengemukakan bahwa kebenaran itu tidak berada pada suatu sistem yang umum tetapi berada dalam eksistensi individu yang konkret.
Pandangan tersebut tentunya bukan suatu yang muncul dengan sendirinya, melainkan sesuatu yang lahir ketika dunia mengalami krisis eksistensial, ketika manusia melupakan sifat individualisnya. Kierkegaard berusaha untuk menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut manusia (aku) bisa menjadi individu yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen pribadi dalam kehidupan.
Dari kierkegaard kemudian diteruskan oleh Nitzche (1844-1900), pemikiran filsafat Nitzche terarah pada upaya melahirkan ide yang bisa menjadi jalan keluar untuk menjawab pertanyaan filosofisnya, yaitu “bagaimana cara menjadi manusia unggul (ubbermench)”. Jawabannya adalah manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk merealisasikan diri secara jujur dan berani.
Sebagai pandangan baru, filsafat eksistensialisme merupakan filsafat yang secara khusus mendeskripsikan eksistensial dan pengalaman manusia dengan metodologi fenomenologi atau cara manusia berada. Disini bagi eksistensialisme, individu bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya, bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialisme sadar bahwa kebenaran bersifat relative, karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar, intinya adalah menginginkan adanya kebebasan manusia untuk mengaktualisasikan dirinya. Filsafat eksistensialisme mengutamakan individu sebagai penentu mana yang baik dan benar juga memberi tekanan inti kehidupan kepada manusia dan pengalamannya.
            Dari uraian dapat diambil pengertian bahwa cara berada manusia itu menunjukkan bahwa ia merupakan kesatuan dengan alam jasmani, ia satu susunan dengan alam jasmani, manusia selalu mengkonstruksi dirnya, jadi ia tidak pernah selesai. Dengan demikian, manusia selalu dalam keadaan belum selesai, yang masih dalam proses menjadi; ia selalu sedang ini atau sedang itu.
 Untuk lebih jelasnya, filsafat eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa cara berada manusia dengan benda lain adalah tidak sama. Manusia berada di dunia; domba dan pohon juga. Akan tetapi cara beradanya berbeda. Manusia menyadari keberadaannya di dunia, menghadapinya dan mengerti apa yang dihadapinya. Sedangkan benda atau materi lain tidak menyadari dirinya sendiri. Eksistensialisme sebagai filsafat sangat menekankan individualitas dan pemenuhan diri secara pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk unik, dan secara unik pula ia bertanggung jawab terhadap nasibnya.
Jika kita hubungkan antara aliran eksistensialisme dengan pendidikan yaitu keduanya bersinggungan satu dengan yang lainnya pada masalah-masalah yang sama, yaitu manusia, hidup, hubungan antara manusia dengan hak pribadi dengan kebebasan (kemerdekaan). Pusat pembicaraan eksistensialisme adalah keberadaan manusia, sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.
Pendidikan sejatinya adalah upaya pembebasan manusia dari belenggu-belenggu yang mengurungnya. Pendidikan juga harus menumbuhkan intensitas kesadaran bagi peserta didik yang mana harus mengetahui bahwa sebagai individu mereka harus bebas, dan kreatif memilih, mengakui tanggung jawabnya untuk menentukan bagaimana ia ingin hidup sendiri dan menciptakan sendiri definisi diri. Kita lahir dan eksis lalu menentukan dengan bebas esensi kita masing-masing. Setiap individu menentukan untuk dirinya sendiri apa itu yang benar, salah, indah dan jelek. Tidak ada bentuk universal, setiap orang memiliki keinginan untuk bebas (free will) dan berkembang. Pendidikan sebaiknya menekankan refleksi yang mendalam terhadap komitmen dan pilihan sendiri. Manusia bukanlah makhluk sempurna, maka dari itu perlu penyadaran diri dengan menerapakan prinsip-prinsip dan standar pengembangan kepribadian.
 Pengetahuan yang diberikan di sekolah bukan sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan atau karir anak, melainkan untuk dapat dijadikan alat perkembangan dan alat pemenuhan diri. Pendidikan di sekolah akan dijadikan alat untuk merealisasikan diri, bukan merupakan suatu disiplin yang kaku dimana anak harus patuh dan tunduk terhadap isi pelajaran tersebut. Biarkanlah pribadi anak berkembang untuk menemukan kebenaran-kebenaran dalam kebenaran. Ini merupakan landasan bagi kebebasan manusia. Kebebasan memiliki aturan–aturan. Oleh karena itu di sekolah harus diajarkan pendidikan sosial untuk mengajar respek rasa hormat terhadap kebebasan untuk semua. Proses belajar mengajar pengetahuan tidak ditumpahkan melainkan ditawarkan. Untuk menjadi hubungan antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog. Dari pemikiran ini sebenarnya dapat dijadikan landasan atau semacam bahan renungan bagi para pendidik agar proses pendidikan mengarah pada pembebasan peserta didik.
Berkaitan dengan tujuan pendidikan yang ingin dicapai, yang mana tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap individu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan dirinya, sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan ditentukan berlaku secara umum. Tentunya, disini peserta didik sebagai individu yang bertanggung jawab untuk pengetahuan sendiri, pengetahuan berasal dari apa yang ada dalam kesadaran individu, dan perasaan dari hasil pengalaman.
Untuk merealisasikan hal tersebut, tentu proses pendidikan yang dilaksanakan oleh para pendidik tidak semata-mata berjalan tanpa sistem. Ada pakem-pakem yang tidak dapat diabaikan pada proses pelaksanaannya. Pakem-pakem tersebut adalah yang dikenal sebagai kurikulum.
Kurikulum menurut Kerr, J. F (1986), kurikulum adalah semua pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan secara individu maupun secara kelompok, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Sedangkan menurut Beauchamp (1968), kurikulum adalah dokumen tertulis yang mengandung isi mata pelajaran yang diajar kepada peserta didik melalui berbagai mata pelajaran, pilihan disiplin ilmu, rumusan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian menurut UU No. 20 Tahun 2003 yaitu kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan  bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kurikulum adalah suatu rancangan yang berisi tujuan, isi dan bahan pelajaran serta strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan.
Kurikulum merupakan salah satu unsur yang memberikan kontribusi dalam mewujudkan proses berkembangnya kualitas potensi peserta didik, kurikulum pula yang menjadi suatu acuan atau patokan pendidik dalam mengarahkan peserta didik menjadi manusia yang berkualitas, manusia yang terdidik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, juga menjadi warga negara yang beranggung jawab (Kemendikbud, 2013:2). Lalu kurikulum seperti apa yang harus diterapkan dalam pendidikan di Indonesia? Jawabannya adalah kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan sekarang dan di masa yang akan datang, juga kurikulum yang mampu mengembangkan potensi yang dimiliki oleh peserta didik.
Jika bercermin pada kurikulum yang sekarang dijalankan yaitu kurikulum 2013, menuntut pendidik mampu menjalankan tugasnya sebagai fasilitator dalam mengembangkan potensi peserta didik juga memberikan kebebasan peserta didik dalam mengaktualisasikan dirinya. Tidak sedikit pendidik yang tidak paham dengan tugasnya pada era kurikulum 2013 ini, lalu apa yang harus dilakukan untuk memberikan pengertian kepada pendidik agar ia mampu menjalankan tugasnya? Disinilah kita perlu memahami peran pendidik yang sebenarnya.
Kurikulum hanyalah merupakan suatu alat dalam mencapai tujuan pendidikan, selanjutnya pendidiklah yang harus menyampaikannya berupa pembelajaran terhadap peserta didik. Pendidiklah yang berperan sebagai seorang yang menjalankan proses pembelajaran yang tentunya perlu mempunyai skill dalam menjalankannya. Namun salah satu kenyataan dalam pendidikan dewasa ini adalah semakin menurunnya peran pendidik dalam proses pengembangan potensi peserta didiknya karena pendidik kurang berminat untuk mencoba mengembangkan metode-metode lain dikarenakan sulit mengaplikasikannya antara materi dengan metode yang akhirnya pembelajaran berfokus pada pengajar ( Instruktur Central Learning ) serta tidak dipergunakan alat / media pembelajaran.
Dengan begitu, pembelajaran aktif yang melibatkan partisipasi peserta didik aktif dalam pembelajaran secara optimal belum dikembangkan. Untuk mencapai tujuan tersebut sangat perlu diupayakan pola-pola pembelajaran yang dapat membantu meningkatkan aktivitas belajar peserta didik di dalam proses pembelajaran di kelas. Adapun pola-pola pembelajaran di kelas yang melatih bentuk kemampuan proses yang dapat mengembangkan peningkatan hasil belajar peserta didik pada berbagai mata pelajaran melalui pendekatan kontekstual.
Berdasarkan kondisi yang terjadi banyak pendidik yang belum mengembangkan metode pendekatan kontekstual sebagai salah satu cara yang dianggap tepat digunakan untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik. Hal ini mendorong pendidik untuk melakukan penelitian tindakan yang dapat digunakan sebagai upaya mencapai tujuan secara optimal dan efektif dalam pembelajaran. 
Menurut pemikiran eksistensialisme, peranan pendidik yang tadinya instruktur yaiu sebagai penyampai pengetahuan dan informasi, ahli materi atau sumber segala jawaban kini pada kurikulum 2013 yang menggunakan pembalajaran student center berubah menjadi fasilitator pembelajaran, pelatih, pembimbing/konselor, dan pendidik mengarahkan peserta didik dengan seksama sehingga peserta didik mampu berpikir melalui pertanyaan-pertanyaan. Pendidik hadir di kelas dengan wawasan yang luas agar benar-benar menghasilkan diskusi tentang mata pelajaran yang diajarkan.
Sekolah merupakan suatu forum dimana peserta didik mampu berdialog dengan teman-temannya, dan pendidik mampu menjelaskan kemajuan peserta didik dalam pemenuhan dirinya. Dari dua pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa peran pendidik dalam pelaksanaan kuriulum 2013 adalah sebagai fasilitator yang memberikan lebih banyak alternatif dan tanggung jawab kepada peserta didik dalam proses pembelajaran, sebagai konselor, dan pengembang potensi peserta didik.
Namun, pendidik yang dahulu telah tertanam fungsinya sebagai instruktur yaitu pusat penyampai pengetahuan, ahli materi, dan menjadi fokus peserta didik tidaklah mudah dalam mengubah fungsinya menjadi fasilitator dalam kurikulum 2013 ini yang menggunakan pembelajaran student center, maka pemeritah sudah sepatutnya mengadakan berbagai pelatihan-pelatihan untuk pendidik mengenai perubahan kurikulum dan bagaimana seharusnya pendidik mengajar, mengembangkan potensi anak, juga menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan. Sehingga pendidik dapat memahami tugasnya sekarang ini dalam mewujudkan tujuan pendidikan.

Pendidik perlu menggunakan berbagai metode agar peserta didik dapat mengeksplor pengetahuannya sendiri, serta pendidik harus kreatif dalam membuat media-media pembelajaran agar dengan mudah tujuan pembelajaran dapat dimengerti oleh peserta didik. Belajar yang menyenangkan dapat menumbuhkan rasa ingin tahu peserta didik, sehingga peserta didik dapat aktif dalam proses pembelajaran.
Pendidik juga harus mengetahui perkembangan psikologi peserta didik, karena hal tersebut sangat penting dalam menentukan bagaimana cara menyampaikan materi pembelajaran kepada peserta didik, mengembangkan minat dan potensi peserta didik. Sehingga pada akhirnya, didapat lulusan yang berkualitas dan mampu bersaing di era global yang dapat mempercepat kemajuan bangsa Indonesia. Dan yang paling utama adalah pendidik dapat memberikan kebebasan kepada peserta didik.


Referensi :
Drs. A. Susanto, M.Pd. Filsafat Ilmu. 2011. Jakarta: Bumi Aksara.
Prof. Konrad Kebung, Ph.D. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Prestasi Putrakaraya.
Achmadi Asmoro. Filsafat Umum. 2007. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
http://wahyu09110241008.blogspot.com/2012/03/makalah-aliran-filsafat.html








Tidak ada komentar:

Posting Komentar