WINDY ROFIKIRANA/PGSD 3/C-2
PENDIDIK DI
ERA KURIKULUM 2013 DALAM KAJIAN EKSISTENSIALISME
Eksistensialisme berasal dari kata
exist (bahasa latin) ex yang berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri.
Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar diri sendiri. Artinya, dengan
keluar dari diri sendiri, manusia sadar tentang dirinya sendiri; ia berdiri
sebagai aku atau pribadi. Pemikiran semacam ini dalam bahasa Jerman disebut
Dasein (Da artinya disana, Sein artinya berada).
Dari uraian dapat diambil pengertian
bahwa cara berada manusia itu menunjukkan bahwa ia merupakan kesatuan dengan
alam jasmani, ia satu susunan dengan alam jasmani, manusia selalu
mengkonstruksi dirnya, jadi ia tidak pernah selesai. Dengan demikian, manusia
selalu dalam keadaan belum selesai, yang masih dalam proses menjadi; ia selalu
sedang ini atau sedang itu.
Untuk lebih jelasnya, filsafat
eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa cara berada
manusia dnegan benda lain adalah tidak sama. Manusia berada di dunia; domba dan
pohon juga. Akan tetapi cara beradanya berbeda. Manusia menyadari keberadaannya
di dunia, menghadapinya dan mengerti apa yang dihadapinya. Sedangkan benda atau
materi lain tidak menyadari dirinya sendiri.
Eksistensialisme
berasal dari Eropa dan menjadi suatu ciri pemikiran filsafat pada abad ke-20
yang menjadi intinya adalah menginginkan adanya kebebasan manusia untuk
mengaktualisasikan dirinya. Filsafat eksistensialisme mengutamakan individu
sebagai penentu mana yang baik dan benar juga memberi tekanan inti kehidupan
kepada manusia dan pengalamannya.
Jika
kita hubungkan antara aliran eksistensialisme dengan pendidikan yaitu keduanya
bersinggungan satu dengan yang lainnya pada masalah-masalah yang sama, yaitu
manusia, hidup, hubungan antara manusia dengan hak pribadi dengan kebebasan
(kemerdekaan). Pusat pembicaraan eksistensialisme adalah keberadaan manusia,
sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.
Pendidikan
sejatinya adalah upaya pembebasan manusia dari belenggu-belenggu yang
mengurungnya. Pendidikan juga harus menumbuhkan intensitas kesadaran bagi
peserta didik yang mana harus mengetahui bahwa sebagai individu mereka harus
bebas, dan kreatif memilih, mengakui tanggung jawabnya untuk menentukan
bagaimana ia ingin hidup sendiri dan menciptakan sendiri definisi diri. Dari
pemikiran ini sebenarnya dapat dijadikan landasan atau semacam bahan renungan
bagi para pendidik agar proses pendidikan mengarah pada pembebasan manusia.
Namun,
proses pendidikan yang dilaksanakan oleh para pendidik tidak semata-mata
berjalan tanpa sistem. Ada pakem-pakem yang tidak dapat diabaikan pada proses
pelaksanaannya. Pakem-pakem tersebut adalah yang dikenal sebagai kurikulum.
Kurikulum
menurut Kerr, J. F (1986), kurikulum adalah semua pembelajaran yang dirancang
dan dilaksanakan secara individu maupun secara kelompok, baik di sekolah maupun
di luar sekolah. Sedangkan menurut Beauchamp (1968), kurikulum adalah dokumen
tertulis yang mengandung isi mata pelajaran yang diajar kepada peserta didik
melalui berbagai mata pelajaran, pilihan disiplin ilmu, rumusan masalah dalam
kehidupan sehari-hari. Kemudian menurut UU No. 20 Tahun 2003 yaitu kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan nasional. Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kurikulum
adalah suatu rancangan yang berisi tujuan, isi dan bahan pelajaran serta
strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan.
Kurikulum
yang merupakan salah satu unsur yang memberikan kontribusi dalam mewujudkan
proses berkembangnya kualitas potensi peserta didik, kurikulum pula yang
menjadi suatu acuan atau patokan pendidik dalam mengarahkan peserta didik
menjadi manusia yang berkualitas, manusia yang terdidik yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, juga menjadi warga negara yang beranggung
jawab (Kemendikbud, 2013:2). Lalu, apakah kurikulum 2013 yang sekarang telah
diterapkan pada pendidikan di Indonesia adalah merupakan kurikulum yang baik,
atau yang tepat untuk peserta didik?
Berkaitan
dengan tujuan pendidikan yang ingin dicapai, yang mana tujuan pendidikan adalah
untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk
pemenuhan diri. Setiap individu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik
berkaitan dengan pemenuhan dirinya, sehingga dalam menentukan kurikulum tidak
ada kurikulum yang pasti dan ditentukan berlaku secara umum. Tentunya, disini
peserta didik sebagi individu yang bertanggung jawab untuk pengetahuan sendiri,
pengetahuan berasal dari apa yang ada dalam kesadaran individu, dan perasaan
dari hasil pengalaman.
Pada
dasarnya, pengembangan kurikulum 2013 memiliki tujuan yang baik, agar peserta
didik dapat aktif dalam dalam mengembangkan potensi dirinya, serta
menghubungkan berbagai aspek dalam satu tema. Namun, ini lebih menitik beratkan
kepada peserta didik, bahkan pendidik hanyalah sebagai fasilitator sehingga
perannya tidak begitu mencolok. Tidaklah sedikit peserta didik yang mengeluh
akan perubahan kurikulum ini, bahwasannya mereka kesulitan dalam belajar karena
begitu banyaknya penugasan yang diberikan oleh pendidik. Maka, dapatkah peserta
didik dikatakan bebas seperti aliran eksistensialisme yang mengutamakan
kebebasan setiap manusia? Maka, disinilah kita perlu memahami pentingnya peran
pendidik dalam proses pembelajaran.
Kurikulum
merupakan inti dari bidang pendidikan dan memiliki pengaruh besar terhadap
seluruh kegiatan pendidikan. Oleh karena itu, penyusunan kurikulum tidak dapat
dilakukan secara sembarangan. Melihat begitu singkatnya perubahan kurikulum di
Indonesia, mengakibatkan banyak masalah. Perubahan dari KTSP menjadi kurikulum
2013 terkesan tergesa-gesa, banyak sekali pendidik yang belum memahami
bagaimana implementasi kurikumum 2013. Bila saja guru tidak dapat memahaminya,
bagaimana dengan peserta didiknya?
Namun
salah satu kenyataan dalam pendidikan dewasa ini adalah semakin menurunnya
peran pendidik dalam proses pengembangan potensi peserta didiknya karena
pendidik kurang berminat untuk mencoba mengembangkan metode-metode lain
dikarenakan sulit mengaplikasikannya antara materi dengan metode yang akhirnya
pembelajaran berfokus pada pengajar ( Instruktur Central Learning ) serta tidak
dipergunakan alat / media pembelajaran.
Dengan
begitu, pembelajaran aktif yang melibatkan partisipasi peserta didik aktif
dalam pembelajaran secara optimal belum dikembangkan. Untuk mencapai tujuan
tersebut sangat perlu diupayakan pola-pola pembelajaran yang dapat membantu
meningkatkan aktivitas belajar peserta didik di dalam proses pembelajaran di
kelas.
Adapun
pola-pola pembelajaran di kelas yang melatih bentuk kemampuan proses yang dapat
mengembangkan peningkatan hasil belajar peserta didik pada berbagai mata
pelajaran melalui pendekatan kontekstual.
Berdasarkan
kondisi yang terjadi banyak pendidik yang belum mengembangkan metode pendekatan
kontekstual sebagai salah satu cara yang dianggap tepat digunakan untuk
meningkatkan hasil belajar peserta didik. Hal ini mendorong pendidik untuk
melakukan penelitian tindakan yang dapat digunakan sebagai upaya mencapai
tujuan secara optimal dan efektif dalam pembelajaran.
Menurut pemikiran
eksistensialisme, peranan pendidik yang tadinya instruktur yaiu sebagai penyampai pengetahuan dan informasi, ahli
materi atau sumber segala jawaban kini pada kurikulum 2013 yang menggunakan
pembalajaran student center berubah
menjadi fasilitator pembelajaran, pelatih, pembimbing/konselor, dan pendidik mengarahkan
peserta didik dengan seksama sehingga peserta didik mampu berpikir melalui
pertanyaan-pertanyaan. Pendidik hadir di kelas dengan wawasan yang luas agar
benar-benar menghasilkan diskusi tentang mata pelajaran yang diajarkan. Sekolah
merupakan suatu forum dimana peserta didik mampu berdialog dengan
teman-temannya, dan pendidik mampu menjelaskan kemajuan peserta didik dalam
pemenuhan dirinya. Dari dua pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa peran pendidik
dalam pelaksanaan kuriulum 2013 adalah sebagai fasilitator yang memberikan
lebih banyak alternatif dan tanggung jawab kepada peserta didik dalam proses
pembelajaran, sebagai konselor, dan pengembang potensi peserta didik.
Namun,
pendidik yang dahulu telah tertanam fungsinya sebagai instruktur yaitu pusat
penyampai pengetahuan, ahli materi, dan menjadi fokus peserta didik tidaklah
mudah dalam mengubah fungsinya menjadi fasilitator dalam kurikulum 2013 ini
yang menggunakan pembelajaran student center, maka pemeritah sudah sepatutnya
mengadakan berbagai pelatihan-pelatihan untuk pendidik mengenai perubahan
kurikulum dan bagaimana seharusnya pendidik mengajar, mengembangkan potensi
anak, juga menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan.
Pendidik
perlu menggunakan berbagai metode agar peserta didik dapat mengeksplor
pengetahuannya sendiri, serta pendidik harus kreatif dalam membuat media-media
pembelajaran agar dengan mudah tujuan pembelajaran dapat dimengerti oleh
peserta didik. Belajar yang menyenangkan dapat menumbuhkan rasa ingin tahu
peserta didik, sehingga peserta didik dapat aktif dalam proses pembelajaran.
Pendidik
juga harus mengetahui perkembangan psikologi peserta didik, karena hal tersebut
sangat penting dalam menentukan bagaimana cara menyampaikan materi pembelajaran
kepada peserta didik, mengembangkan minat dan potensi pesrta didik. Sehingga
pada akhirnya, didapat lulusan yang berkualitas dan mampu bersaing di era
global yang dapat mempercepat kemajuan bangsa Indonesia. Dan yang paling utama
adalah pendidik dapat memberikan kebebasan kepada peserta didik.
Referensi :
Drs. A. Susanto, M.Pd. Filsafat
Ilmu. 2011. Jakarta: Bumi Aksara.
Prof. Konrad Kebung, Ph.D. Filsafat
Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Prestasi Putrakaraya.
http://cimenambon.blogspot.com/2010/10/filsafat-pendidikan
.html?m=1.
http://kpite-geografi.blogspot.com/2013/05/aliran-eksistensialisme-dan.html?m=1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar