REVISI
1-PGSD/3C-02
PERAN PENDIDIK DALAM KAJIAN
EKSISTENSIALISME
Eksistensialisme berasal dari kata
exist (bahasa latin) ex yang berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri.
Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar diri sendiri. Artinya, dengan
keluar dari diri sendiri, manusia sadar tentang dirinya sendiri; ia berdiri
sebagai aku atau pribadi. Pemikiran semacam ini dalam bahasa Jerman disebut
Dasein (Da artinya disana, Sein artinya berada).
Konsep eksistensialisme dikembangkan oleh ahli filsafat asal
Jerman, Martin Heidegger (1889-1976), merupakan bagian filsafat dan akar
metodologinya berasal dari metodologi fenomenologi yang dikembangkan oleh
hussel (1859 – 1938). Kemunculan eksistensialisme berawal dari ahli filsafat Soren
Kierkegaard dan Nietzche. Soren Kierkegaard ingin menjawab pertanyaan
“bagaimanakah aku menjadi seorang diri ?”, dasar pertanyaan tersebut
mengemukakan bahwa kebenaran itu tidak berada pada suatu sistem yang umum
tetapi berada dalam eksistensi individu yang konkret.
Pandangan tersebut tentunya bukan suatu yang muncul dengan
sendirinya, melainkan sesuatu yang lahir ketika dunia mengalami krisis
eksistensial, ketika manusia melupakan sifat individualisnya. Kierkegaard
berusaha untuk menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut manusia (aku) bisa
menjadi individu yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen
pribadi dalam kehidupan.
Dari kierkegaard kemudian diteruskan oleh Nitzche
(1844-1900), pemikiran filsafat Nitzche terarah pada upaya melahirkan ide yang
bisa menjadi jalan keluar untuk menjawab pertanyaan filosofisnya, yaitu
“bagaimana cara menjadi manusia unggul (ubbermench)”. Jawabannya adalah manusia
bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk merealisasikan diri secara
jujur dan berani.
Sebagai pandangan baru, filsafat eksistensialisme merupakan
filsafat yang secara khusus mendeskripsikan eksistensial dan pengalaman manusia
dengan metodologi fenomenologi atau cara manusia berada. Disini bagi
eksistensialisme, individu bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa
memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar.
Sebenarnya, bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak
benar, tetapi seorang eksistensialisme sadar bahwa kebenaran bersifat relative,
karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya
benar, intinya
adalah menginginkan adanya kebebasan manusia untuk mengaktualisasikan dirinya.
Filsafat eksistensialisme mengutamakan individu sebagai penentu mana yang baik
dan benar juga memberi tekanan inti kehidupan kepada manusia dan pengalamannya.
Dari uraian dapat diambil pengertian
bahwa cara berada manusia itu menunjukkan bahwa ia merupakan kesatuan dengan
alam jasmani, ia satu susunan dengan alam jasmani, manusia selalu
mengkonstruksi dirnya, jadi ia tidak pernah selesai. Dengan demikian, manusia
selalu dalam keadaan belum selesai, yang masih dalam proses menjadi; ia selalu
sedang ini atau sedang itu.
Untuk lebih jelasnya, filsafat
eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa cara berada
manusia dengan benda lain adalah tidak sama. Manusia berada di dunia; domba dan
pohon juga. Akan tetapi cara beradanya berbeda. Manusia menyadari keberadaannya
di dunia, menghadapinya dan mengerti apa yang dihadapinya. Sedangkan benda atau
materi lain tidak menyadari dirinya sendiri. Eksistensialisme
sebagai filsafat sangat menekankan individualitas dan pemenuhan diri secara
pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk unik, dan secara unik pula
ia bertanggung jawab terhadap nasibnya.
Jika kita
hubungkan antara aliran eksistensialisme dengan pendidikan yaitu keduanya
bersinggungan satu dengan yang lainnya pada masalah-masalah yang sama, yaitu
manusia, hidup, hubungan antara manusia dengan hak pribadi dengan kebebasan
(kemerdekaan). Pusat pembicaraan eksistensialisme adalah keberadaan manusia,
sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.
Pendidikan
sejatinya adalah upaya pembebasan manusia dari belenggu-belenggu yang
mengurungnya. Pendidikan juga harus menumbuhkan intensitas kesadaran bagi
peserta didik yang mana harus mengetahui bahwa sebagai individu mereka harus
bebas, dan kreatif memilih, mengakui tanggung jawabnya untuk menentukan
bagaimana ia ingin hidup sendiri dan menciptakan sendiri definisi diri. Kita lahir dan eksis lalu menentukan dengan bebas esensi
kita masing-masing. Setiap individu menentukan untuk dirinya sendiri apa itu
yang benar, salah, indah dan jelek. Tidak ada bentuk universal, setiap orang
memiliki keinginan untuk bebas (free will) dan berkembang. Pendidikan sebaiknya
menekankan refleksi yang mendalam terhadap komitmen dan pilihan sendiri.
Manusia bukanlah makhluk sempurna, maka dari itu perlu penyadaran diri dengan
menerapakan prinsip-prinsip dan standar pengembangan kepribadian.
Pengetahuan
yang diberikan di sekolah bukan sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan atau
karir anak, melainkan untuk dapat dijadikan alat perkembangan dan alat
pemenuhan diri. Pendidikan di sekolah akan dijadikan alat untuk merealisasikan
diri, bukan merupakan suatu disiplin yang kaku dimana anak harus patuh dan
tunduk terhadap isi pelajaran tersebut. Biarkanlah pribadi anak berkembang
untuk menemukan kebenaran-kebenaran dalam kebenaran. Ini merupakan landasan bagi kebebasan manusia. Kebebasan
memiliki aturan–aturan. Oleh karena itu di sekolah harus diajarkan pendidikan
sosial untuk mengajar respek rasa hormat terhadap kebebasan untuk semua. Proses belajar mengajar pengetahuan tidak ditumpahkan
melainkan ditawarkan. Untuk menjadi hubungan antara guru dengan siswa sebagai
suatu dialog. Dari
pemikiran ini sebenarnya dapat dijadikan landasan atau semacam bahan renungan
bagi para pendidik agar proses pendidikan mengarah pada pembebasan peserta
didik.
Berkaitan dengan
tujuan pendidikan yang ingin dicapai, yang mana tujuan pendidikan adalah untuk
mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk
pemenuhan diri. Setiap individu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik
berkaitan dengan pemenuhan dirinya, sehingga dalam menentukan kurikulum tidak
ada kurikulum yang pasti dan ditentukan berlaku secara umum. Tentunya, disini
peserta didik sebagai individu yang bertanggung jawab untuk pengetahuan
sendiri, pengetahuan berasal dari apa yang ada dalam kesadaran individu, dan
perasaan dari hasil pengalaman.
Untuk
merealisasikan hal tersebut, tentu proses pendidikan yang dilaksanakan oleh
para pendidik tidak semata-mata berjalan tanpa sistem. Ada pakem-pakem yang
tidak dapat diabaikan pada proses pelaksanaannya. Pakem-pakem tersebut adalah
yang dikenal sebagai kurikulum.
Kurikulum
menurut Kerr, J. F (1986), kurikulum adalah semua pembelajaran yang dirancang
dan dilaksanakan secara individu maupun secara kelompok, baik di sekolah maupun
di luar sekolah. Sedangkan menurut Beauchamp (1968), kurikulum adalah dokumen
tertulis yang mengandung isi mata pelajaran yang diajar kepada peserta didik
melalui berbagai mata pelajaran, pilihan disiplin ilmu, rumusan masalah dalam
kehidupan sehari-hari. Kemudian menurut UU No. 20 Tahun 2003 yaitu kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan nasional. Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kurikulum
adalah suatu rancangan yang berisi tujuan, isi dan bahan pelajaran serta
strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan.
Kurikulum
merupakan salah satu unsur yang memberikan kontribusi dalam mewujudkan proses
berkembangnya kualitas potensi peserta didik, kurikulum pula yang menjadi suatu
acuan atau patokan pendidik dalam mengarahkan peserta didik menjadi manusia
yang berkualitas, manusia yang terdidik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, juga menjadi warga negara yang beranggung jawab (Kemendikbud,
2013:2). Lalu kurikulum seperti apa yang harus diterapkan dalam pendidikan di
Indonesia? Jawabannya adalah kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan sekarang
dan di masa yang akan datang, juga kurikulum yang mampu mengembangkan potensi
yang dimiliki oleh peserta didik.
Jika bercermin
pada kurikulum yang sekarang dijalankan yaitu kurikulum 2013, menuntut pendidik
mampu menjalankan tugasnya sebagai fasilitator dalam mengembangkan potensi
peserta didik juga memberikan kebebasan peserta didik dalam mengaktualisasikan
dirinya. Tidak sedikit pendidik yang tidak paham dengan tugasnya pada era
kurikulum 2013 ini, lalu apa yang harus dilakukan untuk memberikan pengertian
kepada pendidik agar ia mampu menjalankan tugasnya? Disinilah kita perlu
memahami peran pendidik yang sebenarnya.
Kurikulum
hanyalah merupakan suatu alat dalam mencapai tujuan pendidikan, selanjutnya
pendidiklah yang harus menyampaikannya berupa pembelajaran terhadap peserta
didik. Pendidiklah yang berperan sebagai seorang yang menjalankan proses
pembelajaran yang tentunya perlu mempunyai skill dalam menjalankannya. Namun
salah satu kenyataan dalam pendidikan dewasa ini adalah semakin menurunnya
peran pendidik dalam proses pengembangan potensi peserta didiknya karena
pendidik kurang berminat untuk mencoba mengembangkan metode-metode lain
dikarenakan sulit mengaplikasikannya antara materi dengan metode yang akhirnya
pembelajaran berfokus pada pengajar ( Instruktur Central Learning ) serta tidak
dipergunakan alat / media pembelajaran.
Dengan begitu,
pembelajaran aktif yang melibatkan partisipasi peserta didik aktif dalam
pembelajaran secara optimal belum dikembangkan. Untuk mencapai tujuan tersebut
sangat perlu diupayakan pola-pola pembelajaran yang dapat membantu meningkatkan
aktivitas belajar peserta didik di dalam proses pembelajaran di kelas. Adapun
pola-pola pembelajaran di kelas yang melatih bentuk kemampuan proses yang dapat
mengembangkan peningkatan hasil belajar peserta didik pada berbagai mata
pelajaran melalui pendekatan kontekstual.
Berdasarkan
kondisi yang terjadi banyak pendidik yang belum mengembangkan metode pendekatan
kontekstual sebagai salah satu cara yang dianggap tepat digunakan untuk
meningkatkan hasil belajar peserta didik. Hal ini mendorong pendidik untuk
melakukan penelitian tindakan yang dapat digunakan sebagai upaya mencapai
tujuan secara optimal dan efektif dalam pembelajaran.
Menurut
pemikiran eksistensialisme, peranan pendidik yang tadinya instruktur yaiu sebagai penyampai pengetahuan dan informasi, ahli
materi atau sumber segala jawaban kini pada kurikulum 2013 yang menggunakan
pembalajaran student center berubah
menjadi fasilitator pembelajaran, pelatih, pembimbing/konselor, dan pendidik
mengarahkan peserta didik dengan seksama sehingga peserta didik mampu berpikir
melalui pertanyaan-pertanyaan. Pendidik hadir di kelas dengan wawasan yang luas
agar benar-benar menghasilkan diskusi tentang mata pelajaran yang diajarkan.
Sekolah
merupakan suatu forum dimana peserta didik mampu berdialog dengan
teman-temannya, dan pendidik mampu menjelaskan kemajuan peserta didik dalam
pemenuhan dirinya. Dari dua pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa peran
pendidik dalam pelaksanaan kuriulum 2013 adalah sebagai fasilitator yang
memberikan lebih banyak alternatif dan tanggung jawab kepada peserta didik
dalam proses pembelajaran, sebagai konselor, dan pengembang potensi peserta
didik.
Namun, pendidik
yang dahulu telah tertanam fungsinya sebagai instruktur yaitu pusat penyampai
pengetahuan, ahli materi, dan menjadi fokus peserta didik tidaklah mudah dalam
mengubah fungsinya menjadi fasilitator dalam kurikulum 2013 ini yang
menggunakan pembelajaran student center, maka pemeritah sudah sepatutnya
mengadakan berbagai pelatihan-pelatihan untuk pendidik mengenai perubahan
kurikulum dan bagaimana seharusnya pendidik mengajar, mengembangkan potensi
anak, juga menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan. Sehingga
pendidik dapat memahami tugasnya sekarang ini dalam mewujudkan tujuan
pendidikan.
Pendidik perlu
menggunakan berbagai metode agar peserta didik dapat mengeksplor pengetahuannya
sendiri, serta pendidik harus kreatif dalam membuat media-media pembelajaran
agar dengan mudah tujuan pembelajaran dapat dimengerti oleh peserta didik.
Belajar yang menyenangkan dapat menumbuhkan rasa ingin tahu peserta didik,
sehingga peserta didik dapat aktif dalam proses pembelajaran.
Pendidik juga
harus mengetahui perkembangan psikologi peserta didik, karena hal tersebut
sangat penting dalam menentukan bagaimana cara menyampaikan materi pembelajaran
kepada peserta didik, mengembangkan minat dan potensi peserta didik. Sehingga
pada akhirnya, didapat lulusan yang berkualitas dan mampu bersaing di era
global yang dapat mempercepat kemajuan bangsa Indonesia. Dan yang paling utama
adalah pendidik dapat memberikan kebebasan kepada peserta didik.
Referensi :
Drs. A. Susanto, M.Pd. Filsafat Ilmu.
2011. Jakarta: Bumi Aksara.
Prof. Konrad Kebung, Ph.D. Filsafat
Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Prestasi Putrakaraya.
Achmadi Asmoro. Filsafat Umum. 2007.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
http://wahyu09110241008.blogspot.com/2012/03/makalah-aliran-filsafat.html